Sudah hampir satu
minggu pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah (UAS) di tingkat MA dan SMA dilaksanakan.
Selama itu juga siswa khususnya kelas XII memaksa diri untuk memberikan ikhtiar
yang terbaik dengan belajar sebaik-baiknya, demi mendapatkan nilai yang
memuaskan. Sebagian siswa menggunakan ikhtiar terbaiknya dengan belajar di
rumah, membuat kelompok diskusi dan sejenisnya.
Namun tidak
sedikit pula, demi memperjuangkan nilai baik itu, para siswa menggunakan cara
diluar ketentuan yang sudah di atur, seperti membawa buku ke dalam ruang ujian
tanpa diketahui kemudian membukanya, menengok kiri kanan untuk mengintip
jawaban temannya, main kedip-kedipan dengan teman sebelahnya dan diskusi secara
terbuka dengan teman sebangkunya. Anehnya, kegiatan ini “santai-santai saja”
dilakukan meski ada pengawas (guru) di ruangan ujian. Jelas sekali siswa hanya mengejar nilai.
Baca Juga: Siswa Bukanlah Mesin Cetak Bagi guru
Ya, mereka
melakukan aktivitas negatif itu tanpa merasa bersalah dan menganggap itu bukan
kegiatan yang tidak baik dan merugikan bagi mereka. Pada jam mengawas, biasanya
hal-hal demikian saya coba atasi dengan bemberikan sebuah “ancaman”, jika
mereka melakukan itu, sanksinya adalah nilai UAS dimata pelajaran yang saya
pegang tidak akan dikeluarkan bahkan sampai saya bilang lembar jawaban UAS
kalian tidak akan diperiksa dan dianggap tidak ikut ujian. Ketika menyampaikan
ancaman itu, biasanya siswa dengan sendirinya langsung takut dan malu menoleh
kiri kanan dan mencari jawaban sana sini.
Sebagian orang
mungkin bilang ini cara yang keliru, namun harus dilakukan. Karena sesungguhnya
orientasi belajar ke sekolah itu sebenarnya bukan kepada nilai semata. Ia harus
ditaruh dinomer sekian, yang mestinya disuguhkan adalah bagaimana agar karakter
posititf siswa itu berkembang. Nilai hanyalah bonus.
Oleh karena
itu, mungkin tepat jika kita (guru) melemparkan pertanyaan, kenapa siswa
melakukan itu semua, sampai rela keluar dari aturan yang berlaku? Hanya karena
mereka ingin mendapatkan nilai yang baik, sekali lagi nilai yang baik. Apa
boleh mengharapkan nilai yang baik? Sangat boleh dan itu baik. Tetapi ketika
yang baik diperoleh dengan cara yang tidak baik, maka hasilnya tidak akan baik.
Itu sebabnya, orientasi mengajar guru sudah seharusnya digeser, harus lebih
mengutamakan mendidik daripada mengajar. Membangun sudut pandang kepada siswa
bahwa, nilai itu tidak lebih hanyalah sebuah angka yang sangat mudah dirubah. Angka
tersebut akan sangat erat kaitannya dengan etika moral sehari-hari siswa para
siswa. Jika secara IQ seorang siswa kurang, tetapi akhlak baik, tak ada
salahnya guru menghargai dengan nilai yang baik.
Setuju Pak...
ReplyDeletesy pribadi stuju pd pndapat bpk bhwa guru harusx mengutamakan mendidik daripada mengajar, namun sy kurang spndapat klo nilai dikatakan sbg bonus semata karena nilai menurut sy mrp. simbol dr pncapaian kt stlah mlalui proses pmbelajaran. jd sbg siswa yg mrasa kseharianx faham dgn materi kmudian tiba-tiba ktika ujian krna deg2an jd gak fokus dan sketika smua file di kepala terformat dan akhirnya hilang, ini tentu mmbuat siswa mrasa kbratan mndapat nilai jelek padahal sbnrx dia sudah faham betul akan materi. jadi itu mungkin salah satu sebab mngapa siswa terpaksa membawa buku ke ruang ujian,kedip2an dengan teman, dsb.it aj thank u pak :);)
ReplyDeletesejauh pengalaman saya, benar siswa pada saat un/uas hanya mengejar nilai. karena, bagi mereka nilai un/uas sangat mempengaruhi perjuangan mereka sekolah selama 3 tahun. sehingga untuk perjuangan sekolah selama 3 tahun tersebut siswa rela belajar sampai tengah malam sebelum ujian walau pun tidak sedikit siswa yang mencari jalan pintas hanya untuk mendapatkan nilai bagus.di luar un/uas banyak siswa yang hanya menharapkan nilai standar naik kelas. seperti yang pernah saya temukan, saya pernah bertanya kepada seorang siswa" peringkat berapa ?". dengan santai siswa itu menjawab "tidak ada". kemudian saya diam, lalu tiba-tiba siswa itu berkata "bagi saya, tidak terlalu penting peringkat yang penting saya naik kelas kemudian lulus". mendengar jawaban tersebut saya tidak bisa berkata-kata lagi
ReplyDelete.sya setuju dengan pendapat bapak dimana siswa hanya mengejar nilai,seorang siswa seharusnya belajar dengan giat jika ingin mendpt nilai yang baik,dan tidak menggunakan cara diluar ketentuan,, v sya sependapat dengan nurul minal aini, ketika kita didalam ruangan dan ada pengawas ,bagaimanapun paham dan seberapa pintar kita dlam menguasai suatu materi jika kita sudah mulai memasuki ruangan entah bagai mana caranya semua yg sudah kita pelajari dan kita pahami itu semuanya keformat dengan sendirinya, apalagi kalok sama pengawas yang super duper ganas, semua file yang ada diotak langsung hilang seketika,,, heeee wish you all the best pak
ReplyDeletetidak dipungkiri memang keadaan seperrti ini sudah menjamur tradisi " saya mau juara di kelas" supaya disebut PINTAR,,,sijago kelas,namun musti back dulu juara kelas tidak dapatkan dengan cara kerja sama jawaban saat UN atau UTS, mencotek... ? auh mama heee ni yang parahhhh, atau raseacrh at internet to sick answer... adu .. ini sikap tercela .tidak baik. juara kelas tidak sedikit yang mengidam idamkan tidak kenal perbedaan: miskin,kaya surge,,,upss salah ketik, ya juara itu semua menginginkan,tapi pernah enggak kembali kita baca diri dulu dalam cara meraihnya itu? sebenarnya kesuksesan sejatinya dinilai dari sederetan prosesnya,bukan hasil akhirnya.gitu ,,menurut saya tepat kenapa ..? karena itu banyak pelajaran yang kita dapatkan untuk diterapkan /dijadikan sebagai pengalaaman untuk kehidupan kita.dalam UN dan UAS: SISWA HANYA MENGEJAR NILAI saya setuju,jangan kita lihat nilai saja, tapi cara meraihnya kurang diajar.thanks for my beloved lecturer bapak M.Hipni,M.Pd
ReplyDeleteKita semua mempunyai 10 hingga 15 billion neuron di dalam otak? Jumlah yg sebegini banyak melebihi dua kali ganda seluruh penduduk dunia. Jika dikumpulkan semua otak, ciptaan yg pernah diciptakan oleh manusia sejak dulu lagi hingga kini tidaklah mencapai nisbah yg sepatutnya.Berat otak lebih kurang 1.5kg iaitu 1/40 drpd berat badan. Ia terbahagi kepada 3 bahagian iaitu otak neocortex, otak mammalian dan otak reptilian.Mewujudkan imaginasi adalah salah satu daripada peranan otak dalam aktiviti berfikir. Imaginasi yg telah wujud akan melalui beberapa lagi proses internal yg akan menggerakkan anggota-anggota manusia yg lain untuk merealitikan impian-impian yg telah digambarkan itu. realita otak memang tidak ada bandingannya untuk menyimpan file2.mengacudari prinsip otak tidaklah bias untuk itu dijadikan sebagai sebuah cara untuk di jadikan mesin cetak bagi siswa,karena kita ketahui porsi masing2 bagian tubuh itu terbatas cara menerimanya.sekarang tergantung bagaimana caranya untuk bias menstransformasi informasi2 sehingga terhimpun dengan tatanan yang rapi.berbicara bias atau tidak siswa dijadikan mesin cetak tidaklah banyak..namun ada seperti mesin cetak yang contohnya pakar2 ilmuan dahulu seperti imam syafi'i,al- ghazali dll.dalam hal ini memang tidak bias dipaksakan kehendak guru untuk menjadikan siswa menjadi pintar sekejap seumpama materi dalam kertas di blender dan diminum jikalau itu yakin bias ndk ada yang bodoh.so... tidak mungkin menjadikan siswa sebagi mesin cetaak.
ReplyDeletekegiatan seperti itu memang sudah sering terjadi dari sejak dulu. siswa belajar bukan semata untuk mencari ilmu namun untuk nilai juga. bahkan akhir-akhir ini siswa bahkan lupa dengan apa yang dicari sebenarnya (ilmu)karena sibuk mencari nilai bagaimanapun caranya (yang penting nilainya bagus hee..)yang memang pada awalnya niat sekolah untuk menuntut ilmu namun ketika ada kesempatan yang datang dan tidak di tindak lanjuti dengan benar maka kebiasaan tersebut sudah mendarah daging
ReplyDeleteSetuju pak..
ReplyDeleteTetapi terkadang siswa terpaksa melakukan hal demikian (nyontek)agar mendapat nilai bagus. Karena ada tekanan dari pihak sekolah (harus mendapat nilai bagus agar lulus). Karena banyak pihak sekolah terkadang tidak ingin nama sekolahnya terdengar tidak meluluskan siswa. untuk menjaga agar sekolah tetap exis, manipulasi nilai pun bisa dilakukan..
Yupz saya sependapat dengan bapak, akan tetapi perli juga kita melihat kebelakang penyebab mereka lebih mementingkan nilai bahkan dengan cara yang tidak wajarpun dilakukan demi nilai tersebut. Boleh saja kita beranggapan demikian karna kita hanya melihat sepintas bahkan itu menjadi konsumsi para guru setiap tahunnya, namun apakah kita peduli dengan apa yang mereka rasakan...??
ReplyDeleteTentu tidak, karna kita melihatnya dengan batas kemampuan kita.
Barangkali ini sebuah polemik bagi kita calon pendidik,. Berbiacara mengenai sebab musabbabnya mengapa terjadi hal demikian. Pertama, soal yang diberikan oleh pusat dan diperiksa pula oleh pusat. Namun soal yang di berikan oleh pusat tidak sesuai dengan materi yang dipelajari ( pengalaman pribadi ).
Standar krlulusan tinggi sedangkan sarana pra sarana kurang mendukung di sekolah. Ini kita berbicara nilai UN DAN UAS ya..
Mungkin itu dulu. Semoga kita sebagai calon pendidik memiliki gambaran kedepan bagaimana mencerdaskan anak bangsa...
Salam sukses berjamaah...
Tambahan sedikit..
ReplyDeleteMemang kalau kita lihat nilai sangat erat kaitannya dengan kehidupan. (Melihat secara universal )
Nilai tinggi menjanjikan pekerjaan mewah.
Memang benar bahwa orientasi belajar ke sekolah bukanlah kepada nilai semata, akan tetapi bagaimana untuk menjadi manusia yang lebih baik (mengembangkan karakter yang ada). Siswa tidak sadar bahwa mendapatkan nilai yang baik (dengan cara mencontek) tidak mendapatkan ilmu. Apa yang didapatkan saat mencotek tidak akan bertahan lama hanya diingat saat mencontek saja pada intinya ilmu yang didapatkan sebentar saja yaitu saat diperlukan saja. Sekolah jika hanya mengejar nilai tidak ada gunanya karna sesungguhnya kita tidak mendapatkan ilmu/pengetahuan yang seharusnya melainkan hanyalah nilai di atas kertas saja. Jika ilmu/pengetahuan kita miliki maka nilai tidak usah dikejar melainkan akan sejalan dengan pengetahuan yang kita miliki. Untuk itu mari ke sekolah untuk mengembangkan karakter dan potensi diri untuk menjadi yang lebih baik dengan rajin belajarrrrrrrrrr.
ReplyDeleteSaya setuju pak,,,
ReplyDeleteKebanyakan anak sekarang hanya mementingkan nilai, mungkin juga termasuk saya,, karena dari awal mereka di dorong untuk mendapatkan nilai yang baik,kalau nilai baik maka akan menjadi nomer satu,, gak penting gimana cara mendapatkan nilai tsb,,, intinya kembali ke niat masing-masing, apabila kita sekolah hanya mengejar nilai maka yang akan kita dapatkan nilai, kalau niat menginginkan nilai yang bagus maka belajar yang giat, bukan mendapatkan nilai dengan cara yang curang yakni membawa paket atau contekan di saat UN,,,
Enter your comment...betul pak,, siswa sekarang lebih terobsesi untuk mengejar nilai tinggi daripada memperhatikan proses mendapatkan pengetahuan, masalah seperti ini merupakan masalah setiap tahun yang belum terdapat solusinya. meskipun pemerintah telah merombak sistem ujian tapi terwujudnya ujian jujur belum dapat terealisasikan.
ReplyDelete